Selasa, 05 Oktober 2021

Kyai Fesbuk

Orang tua mana apalagi ibu yang tak bahagia jika anak perempuannya dikhitbah oleh pria? Apalagi usia si anak perempuannya hampir mencapai kepala empat. Tapi, kalian perempuan yang tetap menjaga diri dan hati sampai halal di usia yang hampir empat dekade, kalian tetap punya hak menentukan dengan siapa kalian ingin berbagi kebahagiaan!


Beberapa hari setelah angka 39 menyapaku [angka 39 menunjukkan usiaku saat itu], datanglah seorang pria dengan dua anaknya. Sedikit shocked si kok dia bisa tahu di mana aku tinggal. Jujur, aku nggak nyaman dengan kedatangan tiga tamu ini. Imajinasi mulai menari-nari. Jangan-jangan??? Ah sudahlahh tak usah berandai-andai … Ternyata, kedatangannya dengan maksud supaya aku mau memberikan tambahan pelajaran bagi kedua anaknya. Dan aku malas banget harus memberi les privat di masa pandemi ini. Aku sarankan untuk membawa si bungsu ke tetangga dan yang sulung ke LBB. Yang bikin wow, ternyata si sulung sudah ambil kelas di LBB. So, ngapain harus minta les privat ke aku? Aku tolak dan Bapak itu tetap kekeh supaya aku bersedia mendampingi anaknya belajar. Dan aku menyerah. Oke, cukup satu hari seminggu dengan durasi 90 menit. Eee, masih ngeyel minta 2 hari. Yo weslah diiyain aja, lagi malas debat dan berharap tiga tamu itu segera pamit. Berharap aku punya alasan yang masuk akal untuk kabur dari ngelesi privat, maka aku pilih hari di mana aku biasa ngantar ibu kontrol ke rumah sakit.

Belum ada dua pekan mendampingi anaknya belajar, Bapak itu bertanya “Sudah ada calon atau belum, Bu?” Glodaggg!! Imajinasiku tak meleset. “Aku lagi tukeran CV,” jawabku jujur walau sesungguhnya ada keyakinan kami tidak berjodoh. Mau tahu?? Lain kali aja pas pengin nulis J Aku pun dikejar pertanyaan lagi. “Sejak kapan?” Jawaban meluncur dari mulut ini benar-benar berdosa. “Tahun lalu.” Maksud hati hendak bilang bulan lalu. Hadeechhh … “Gak usah sue-sue, Bu.” Aku pun menjelaskan, “Dia baru saja negatif dan Ibunya meninggal karena covid.” “Gek ndang wae. Aku daftar ya,” ujarnya dengan kesan memaksa aku menjawab. Kalimatnya bikin aku ilfil. Aku pun menggerakkan mulut dan mata dengan maksud supaya dia tahu aku tidak nyaman dengan ucapannya. Lagi-lagi, iyain ja biar cepat pulang J

Aku semakin galau. Ketika langkahku melewati posisi Ibu yang sedang nonton televisi, beliau berguman, “Alhamdulillah, anakku. Gelemo ndhuk. Aku mau nguping.What??? Inilah yang tidak aku suka. Aku tak pernah ingin Ibuku tahu kisah pendekatanku dengan siapapun. Aku cuma minta do’a saja. Aku tidak ingin ditekan supaya segera nikah dengan pria yang sedang dekat. “Aku gak mau,” jawabku. “Pokok’e tak dongani sampek sampeyan gelem.” Aku menangis kala itu juga. Kalau saja ada Bapakku … Ingin aku berhenti ngelesi dua anak itu tapi bingung ngomongnya gimana.

Hari demi hari sikap Ibuku semakin aneh. Puncaknya sehari sebelum jadwal ngelesi, hari H, dan sehari sesudah. Berguman sendiri dan nyindir dengan harapan aku mau menerima pria itu. Beliau juga menunjukkan perhatian yang ekstra pada duo kecil itu. Ibu memang suka anak-anak. Tapi ini terasa beda. Sumpah, aku takut Ibuku kena sindrom halusinasi. Aku ceritakan isi hatiku pada adik ibuku sambil menangis. Aku tak ingin menikah dengan dia dengan banyak alasan termasuk pribadi pria itu dan sepertinya kakakku juga menentang.

Di tengah kegalauanku, ada pesan masuk dari seseorang yang sekitar dua tahun lalu sempat dekat tapi tidak jadian. Kami pun janjian makan siang. Di antara obrolan terselip kata pasangan. Kalau aku mau lanjut hubungan dengan dia, aku diajak bertemu orang tuanya hari itu juga. Dan dia menjelaskan sifat-sifat Ibunya yang dia yakin semua perempuan pasti memilih tidak melanjutkan. Kalau saja si Mas memilih tinggal di kontrakan atau di rumah orang tuaku, aku mau bertemu. Aku sudah ciut hati. Banyak cara untuk tidak berjodoh. Dan berharap muncul pria lain. Realitanya zonk.

***** 

Dua hari setelah bertemu si Mas, ayah duo kecil itu pun bertanya lagi tentang pria dalam CV itu. Aku sampaikan kalau kami tidak melanjutkan. Dia menawarkan dirinya lagi dan bertanya bla-bla-bla. Aku sampaikan kalau aku tidak ada rasa. Tapi, kalau Ibuku senang, aku manut. Entahlah, tiba-tiba aku pasrah. Kalau memang ini harus jalanku, aku tak bisa menolaknya. Toh dengan pria sebelumnya, aku juga belajar menerima ‘paketannya’ meski akhirnya aku harus memilih mundur karena selain dia tak bisa memberikan kepastian dan abottt syaratnya.

Setelah aku iyakan, kami sering ngobrol selepas memberi les anaknya. Dia tanya pesta penikahan seperti apa yang aku inginkan. Aku katakan kalau aku ingin yang sederhana tanpa mengundang rekan kerjaku sama sekali. Aku sempat sarankan dia untuk rujuk dengan mantan istrinya. Tapi dia tidak mau dengan alasan sekarang si mantan sudah pegawai. Dulu masih belum P3K saja dia disia-siakan, apalagi sekarang. Tapi aku tak sepenuhnya percaya. Ada asap pasti ada api.  Lalu, dia mulai menjelek-jelekkan mantan istrinya. Ini yang aku tidak suka! Aku paham keduanya pasti mencari pembenaran sendiri. Versinya dia, si mantan istri ada main hati dengan ex-boyfriend. Aku tanya, “Anda yakin? Kalau memang ada main kenapa sekarang kok belum menikah juga?” Dia katakan kalau mantan istrinya menggunakan ilmu hitam demi mengambil hak asuh anaknya, tidak bisa mengelola uang, bahkan beli baju yang biasa asal dapat lebih dari satu dari pada yang mahal pun jadi masalah. Mantan istrinya dolan ke saudaranya, dilarang. Jalan-jalan dengan keluarga besar, tidak diizinkan dan dia tidak mau ikut. Semua makin memuncak setelah kedua orang tua mantan istrinya meninggal dunia. Mantan istri jual baju sebagai kerja sampingan pun diprotes. Ingin membantah setiap penjelasannya tapi tak mampu. Hanya kalimat, “Ya ndak papa to wong cari tambahan penghasilan. Aku juga jualan jajan.” Kalimatku langsung ditentang, “Untungnya tidak, rugi iya karena ada pembeli yang tidak membayar.” Entahlah, aku memilih diam. Ada rasa getun yang terpendam yang tak pernah aku berani utarakan akibat mengiyakan. Adakalanya siapapun butuh waktu me time dari kepenatannya sehari-hari dengan bercengkrama dengan keluarga besar atau sekadar melakukan hobi. 

*****

Hari berganti. Ibuku semakin berbunga-bunga karena aku mau meluangkan waktu bercakap-cakap dengannya. Namun, pembicaraan kami hanya terpaku pada uang dan materi. Sejujurnya, aku benar-benar ingin mundur. Tapi, wajah Ibuku ada di depan mata. Pria itu mulai ingin tahu penghasilan tambahanku selain mengajar di sekolah dan mengapa aku tidak memperjuangan tunjangan profesiku yang tak pernah bisa kuterima sejak tahun 2014. Sungguh, aku paling tidak suka ketika ada yang bertanya tentang tunjangan profesi yang tak pernah cair itu. Aku ikhlas tidak menerima tunjangan itu yang penting aku bahagia tanpa menyakiti orang lain. Allah itu maha adil. Perlu diketahui, tidak cair bukan karena saya tidak professional! Dia juga mengeluhkan biaya kuliah di PTN untuk anak pegawai negeri yang mahal. Hellooo, Anda Golongan IV, batinku. “Demi anak. Paklekku saja tidak keberatan ketika anaknya harus membayar uang kuliah 1 juta lebih mahal dibanding lainnya yang dengan profesi orang tua yang sama serta masuk jalur yang sama.”

Semua opini negatif tentang si pria ‘mata duitan, pelit, dan perhitungan itu masih aku simpan dalam fikiran saja. Semua seakan termaafkan ketika dia mengatakan bahwa nanti 2024 jika tidak ada perubahan, dia akan berangkat ke tanah suci. Ra popo wes kamu pelit dan perhitungan, kamu butuh modal lebih buat beli oleh-oleh dan biaya hidup keluargamu selama cuti. Namun, masih ada kekwatiran yang lain ketika dia mengatakan bahwa hubungannya dengan salah satu kakak lelakinya tidak harmonis. Lagi-lagi masalah materi yang berupa warisan lahan untuk bangunan rumahnya. Katanya, harusnya anak bungsu menempati rumah orang tuanya. Tapi karena ada saudara yang kurang mampu, dia mengalah membuat rumah sendiri. Dan, aku tidak mau ikut campur yang bukan ranahku.

Kakakku mulai menunjukkan rasa tidak suka pada pria itu 2 minggu sebelum acara lamaran kami. Dia kirim banyakkkk hasil tangkap layar status FB mantan istri pria itu. Yang intinya, si pria itu adalah pria yang harus diturutin kemauannya, mudah minta maaf dan sering mengulangi kesalahan yang sama. Hasil mediasi mengapa si istri menggugatnya hanya dengan kata ‘sepele’ tanpa menjelaskan apapun bentuk sepelenya! Akhirnya, aku juga ikut stalking status si mantan istri. Akun fesbuk dia juga aku jadikan sasaran stalking, tidak hanya foto tapi juga komentar! Sebenarnya, saya tidak pernah mau stalking akun media sosial pria yang sedang dekat dengan saya. Saya hanya ingin melihat dia yang sekarang bukan dia yang dulu dengan jejak digitalnya! Risih dan pengen ngakak juga si dengan polah dia memberikan komentar ke akun janda-janda yang usianya antara 35-42 tahun. Mungkin karena perbedaan usia dan saia bukan tipe orang yang suka pujian atau gombalan kali ya.

Aku kirim tangkap layar status mantan istrinya dan komentar dia di akun para janda itu ke WA dia. Apa yang kudapat? Aku mendapat balasan HURUF KAPITAL yang menunjukkan egonya sangat tinggi dan usaha pembelaan diri. Wajar si membela diri seperti itu, tapi mohon lebih bijak donk. Aku bukan mengkritik lo ya. Tapi memberi saran kalau mo flirting via inbox saja dan jangan pakai foto profil anak serta gak usah berteman dengan teman kerja. Usaha ya usaha, tapi yang berkelas donk J Semakin yakin saja kalau pengin mundur karena aku merasa percuma menghabiskan sisa hidup dengan seseorang yang tidak bisa menerima perbedaan cara berfikir. So, aku biarin ja huruf kapital itu dari pada buang-buang waktu untuk hal tak berguna J

Keesokannya, setelah les usai, dia mengajak ngobrol dan membicarakan hasil tangkap layar. Aku jelaskan lagi tentang jejak digital itu. Kasihan anak-anak jika tahu polah bapaknya seperti itu ketika kasus perceraian belum diputuskan. Komentar flirting juga mungkin akan terbaca oleh teman jika teman juga sedang on saat itu. Jawaban dia apa? Anak-anak tidak akan tahu. Tidak punya fesbuk. Aku bilang, suatu saat pasti tahu. Dia ngeyel lagi dengan ada pandangan marah. Aku pun ngeyel juga. Tunggu saja. suatu saat pasti tahu. Kalau anak punya HP sendiri dan bikin akun fesbuk. Dia bisa baca jejak digital orang tuanya. Akhirnya dia ngomong, “Kalau njenengan tidak suka, hapusen!” Aku jawab, “Aku tidak akan hapus jejak digital seseorang yang akan menjadi suamiku. Aku akan ajari caranya jika dia tidak bisa dan berniat ingin menghapus sisi negatif digitalnya demi anak-anaknya.” Dia masih ngotot menyuruh aku untuk menghapus. Aku pun menolak. Aku bilang, “Jika aku sudah menikah, aku tidak akan membuka HP suamiku.” Aku ajari pria itu cara menghapus status dan komentar. Aku gunakan akun FB ku sendiri. Tapi apa yang kudapat? Dia hanya memandangku seakan-akan aku menganggap aku cemburu. Sama sekali saya tidak cemburu! Kalau mggak mau menghapus, ya terserah bukan urusan saia J Silakan tanggung sendiri resikonya suatu saat nanti. Lalu dia bilang kalau dia mo bikin akun FB lagi. Silakan mo bikin lagi. Tapi percuma kalau akun lama tidak dihapus. Lalu, dia bertanya dilanjutkan atau tidak hubungan ini? Aku sampaikan ke dia kalau akan aku jawab via WA. Aku mo fikirkan dulu. Lagi-lagi, dia memaksa menjawab saat itu juga. Setelah mempertimbangkan, aku memutuskan untuk melanjutkan.

Rabu sore, pria itu datang ke rumah khusus dengan tujuan untuk bertemu Ibuku atas permintaan Ibuku yang disampaikan kepadaku. Masak mo ngelamar anak orang tidak bertemu orang tua? Dalam pembicaraannya, ibuku setuju jika setelah menikah aku tinggal dengannya. Acara lamaran pria ke wanita ada, tapi acara menjawab lamaran tidak ada. Aku kaget. Nanti saja kalau kami telah menikah, silakan dolan. Padahal, aku sudah menyampaikan ke dia, keluarga besar Ibu dan almarhum Bapakku perlu tahu dan kenal dia sebelum kami menikah. Tidak perlu ada acara tinjau setelah acara ijab qabul. Nanti aku bantu cari pesanan makan. Ternyata, alasan dia adalah di keluarganya tidak ada acara seperti itu. Ya Allah, ini pelit atau perhitungan sih??? Kok sekaku ini ya??

Sehari setelah bilang ke Ibu dan acara lamaran ditentukan sesuai kesepakatan kami, dia menyampaikan keinginannya yang semakin menggila. Cerita tentang para janda dan mantan istri menunjukkan keinginan dia sebenarnya. Ada janda yang menuntut dibuatkan rumah baru ketika mereka sudah menikah dan ada yang ingin dibelikan mobil baru juga. Dia menolak keinginan para janda itu. Membelikan motor untuk istri juga diungkit. Mantan istri pakai jasa laundry daripada nyuci sendiri dikomentari. Aku hanya diam. Kok ada ya suami yang kek gini. Aku yakin gak setiap nyuci dan setrika pakai jasa laundry. Kalau capek apa harus dipaksa kerja? Istri bukan asisten rumah tangga! Hargai dikit donk! Uang hasil menyewakan sawah warisan dari almarhum orang tua si mantan pun ditanyakan dengan alasan CUMA ingin tahu. Ketika dia bilang kepada si mantan istri, “Seng dienut ojo Kyai Fesbuk” gegara istrinya berucap, “Harta suami harta istri. Tapi harta istri bukan harta suami.” Asli, bikin aku menertawakan ucapannya. Lalu dia menambahkan, “Engko, lek awakdewe wes nikah, aku pengen gajine awakdewe dilumpukno dadi siji trus digawe bareng-bareng.” Astagfirullah … Seketika membuat aku bergeming tak menjawab sepatah kata pun dan melamunkan kebiasaan di keluarga besar kami. Bapak dan para paklekku tidak pernah mengurusi dunia istrinya alias dan tidak tahu berapa besar gaji istrinya. Istri paklek biasa memberi kami para ponakan. Di antara diamku, dia menanyakannya lagi. “Penak ngono to, Bu? Aku pun menjawab, “Oo ngono yo,” tanpa ada keinginan untuk membantah. Karena percuma! Yang pernah kita diskusikan saja, dia tetap ngotot dengan keinginannya. Slogan dia “Semua bisa dibicarakan” hanya iklan.

*****

Kakakku bertanya lagi dan lagi padaku apakah aku yakin akan menikah dengan dia? Adakah yang membuatku ragu? “Adikmu kui wes gelem, Le. Acarane wes genah sok Minggu.” Kakakku membantah, “Aku nggak tanya Ibu.” Aku masih diam. “Ojok mbok batalne. Sampeyan kui wes seneng.” Kakakku semakin meninggi volume suaranya, “Aku tidak tanya Ibu. Ibu punya hutang dia berapa?” Aku pun menjawab dengan uraian air mata, “Ibu gak punya hutang sama sekali. Sepuntene, Buk. Aku nggak bisa nglanjutin. Tapi lek ibuk pengin segera punya mantu, gak popo. Tak lakonane. Tak betah-betahne masio aku gak kuat. Pokok’e Ibuk seneng. Tolong, mengko sampeyan gelemo jadi wali masio kamu gak ridho. Pura-pura o seneng ma dia meski faktanya kamu gak ngeh. Aku juga wes siap dicerai.” Ibu bertanya, “Apa maksudmu?”

Aku pun menceritakan. Aku wes belajar ikhlas seandainya dia tidak mencukupi kebutuhanku dan hanya menyediakan tempat tinggal bersama dan biaya makan. Aku tidak akan minta jatah selain makan dan tempat tinggal. Jika gajiku dan gajinya dipakai bersama, aku kudu piye? Dia paket 3 in 1. Jika 1 vs 1, aku tidak masalah kita gunakan gaji kita untuk kebutuhan bersama. Jika dia bilangnya begini, “Nanti aku pengin kita punya tabungan bersama. Misal, kalau njenengan menyisihkan 100 ribu, berarti aku 300 ribu.” Kalau dia ngomong seperti itu kelihatan lebih elegan J Bapak ketika sakit berpesan, kalau ada saudara yang mo pinjam uang, kalau kamu tak mampu, pinjami. Jika kamu punya uang, ikhlaskan. Jangan kamu anggap pinjaman. Lalu, kalau aku ingin nyangoni ponakan, pengin crafting, bikin baju, beli bunga, atau dolan bareng dengan keluarga besar Bapak atau ibu, apakah aku harus izin begini dan begini? Padahal, aku udah rencana, kalau aku pengin jahit baju, anak perempuannya mo aku bikinkan juga. Aku akan menjadi juru masak, bersih-bersih, cuci baju, ngajarin anaknya, dan ngramut dia. Trus, aku harus berikan hasil kerjaku yang tak seberapa buat dinikmatin bersama dia dan anak-anaknya? Aku dianggap apa? Menjadi ibu rumah tangga yang juga bekerja di luar rumah itu keputusan. Dan aku tidak mau diperlakukan seperti ini oleh seseorang yang disebut suami!

Masalah pengelolaan financial ini yang menjadi problem utama mengapa aku mundur. Jadi, masalah dia flirting dengan para janda di FB dan like foto-foto mereka sama sekali bukan alasan. Aku juga pernah digoda, tapi aku punya alasan untuk tidak merespon para penggoda. Aku tahu cara membahagiakan dan menyanyangi diriku sendiri. Ketika aku tahu bahwa dia penuh perhitungan, aku harus rajin menabung bahkan mungkin harus menggunakan uang tabungan sebelum menikah jika aku harus operasi sesar karena usiaku sudah mendekati kepala empat ketika aku melahirkan. Aku tak mungkin bergantung pada dia yang selalu membicarakan uang dan uang apalagi sampai memohon supaya dia membiayai biaya persalinan sesar. Aku juga harus tetap menyanyangi diriku sendiri dan menjamin masa depan keturunanku. Harus kuat dan sehat. Aku hanya ingin memegang dan mengelola hasil kerjaku sendiri. Bukan dicampur dan digunakan berempat. Toh, aku tak mungkin menggunakan jerih payahku untuk kebutuhanku sendiri. Kalau jatah belanja kurang, akan aku gunakan. Aku tak mau ketika aku butuh sesuatu harus mengambil jatah uang bersama harus bilang untuk apa. Melihat tipikal dia, ingin aku sampaikan pada dia bahwa jika sudah menikah, aku ingin dia yang belanja bulanan. Untuk keperluan harian beli sayur dan lauk, berikan harian saja. Tapi aku belum pernah utarakan keinginan itu. 

Ibuku minta maaf dan menyerahkan keputusan kepadaku. Aku bersyukur punya kakak yang bersedia kujadikan alasan membatalkan. Makanan yang sudah kami pesan tidak kami batalkan. Semoga bisa menjadi berkah Ramadan bagi yang menerima. O iya, aku batalkan acara lamaran itu melalui pesan WA. Aku juga bilang kalau aku akan mengganti biaya pembelian itu dan dia menolak. Aku cut les untuk kedua anaknya.

Itulah kisah yang tak pernah ingin aku ulangi lagi. Perempuan, kamu punya hak untuk menentukan. Buat para pria, tak usah takut akan dibatalkan acara pernikahanmu dengan perempuan dengan masa lalu seperti saya. Semua ada sebabnya!

*****

 Terima kasih telah membuatku menulis sekelumit kisah ‘NGEBARNE’ versiku. Semoga engkau tetap bijak dan bisa menerima informasi dari kedua belah pihak. Sekali lagi matur thank you telah menjadi cermin yang mampu melihatku dari belakang dan memantulkan wujud nyataku dalam perspektif mereka di depan mataku. Wujud yang tak pernah mampu terjangkau olehku tanpa adanya kamu. That’s what friends are for!

 

Harris Hotel & Conventions Surabaya

NugRä

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

http://gudanglagu.com/mp3/31070/TwYg5Yxw/cassandra_-_cinta_terbaik.html